Betty Brussel Shoemakers
If you decide on a business and you literally love the idea of being in it, there is an excellent chance that you WILL find a way to be different. You will tend to work hard enough so one day, your business will tell you the secrets you need to know that will set you apart from the crowd.
Mengenai Saya
- Nama: Betty Bakur
- Lokasi: Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Betty Brussel Shoemakers is a Home Industry in Leather Shoemaking.
Sabtu, 27 September 2008
Jumat, 19 Oktober 2007
Idul Fitri Bersama di Republik Mimpi Posted by: Rovicky | 4th Okt, 2007 (www.tempe.wordspress.com)
Sahabat saya Muntaha yang sedang kuliah di International Islamic University Malaysia berbagi tulisan tentang keprihatinannya perbedaan hari raya dalam satu negara. Ulil amri menurut Pak Muntaha saat ini paling besar ya negara. Karena kita tidak memiliki pemimpin dunia. PBB bukanlah pemimpin yang memiliki kontrol atas dunia.
Di hampir semua negara-negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam masyarakatnya dapat menikmati kebahagiaan berhari raya bersama, bersatu padu dalam kebahagiaan; namun di Indonesia masyarakat untuk saat ini hanya dapat bermimpi untuk dapat merasakan indahnya kebersamaan dalam kebahagiaan.
Apa akar permasalahannya
Hari raya ‘Idul Fitri bukan seperti shalat, wudhu dan ibadah sejenisnya yang dapat dilakukan dengan leluasa oleh individu, ‘Idul Fitri adalah ibadah sosial, ibadah yang melibatkan semua elemen umat Islam, tak pandang bulu dari ormas dan jama’ah manapun mereka; Muhammadiyah, NU, Perti, Persis, Masyumi, al-Irsyad, Syi’ah, Salafi, Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh; bahkan dari, Islam Jama’ah, Islam Liberal hingga Islam abangan; semuanya ada di Indonesia dan semuanya merasa perlu dan merasa memiliki ‘Idul Fitri; yang mana berjuta-juta umat Islam Indonesia banyak yang berafiliasi di dalam ormas-ormas tersebut, atau “dipaksa” oleh opini masyarakat untuk dimasukkan dalam organisasi dan jama’ah-jama’ah tersebut; dan perlu dicatat bahwa semua berdiri di atas nama Islam dan tentu semua menginginkan untuk menuju surga.
Nah, pada saat umat Islam Indonesia ingin mengadakan “hajatan akbar” berupa perayaan ‘Idul Fitri; ternyata ada di antara pemimpin-pemimpin dan ilmuwan-ilmuwan/ulama’ dari kelompok-kelompok itu yang merasa paling punya wewenang dan ingin didengar suaranya untuk menentukan hari “H”nya ‘Idul Fitri; tentu dengan metode masing-masing, ada yang memakai hisab, ada pula yang menggunakan metode ru’yat, baik ru’yat lokal maupun yang lebih maju lagi ru’yat global. Yang pasti hilal (bulan sabit) tidak akan terpengaruh sedikitpun dengan segala macam observasi tersebut, sebab bulan sabit itu satu dan dia mempersilahkan kepada umat Islam untuk meneliti dan mengobservasi dirinya, itu tidak penting bagi sang hilal. Toh meskipun pada tahun 2001 Muhammadiyah dan Persis yang menggunakan hisab hasilnya berbeda dalam menentukan ‘idul Fitri, dan juga tahun 2006 warga NU yang menggunakan ru’yat ternyata saling menyalahkan dan akhirnya “pecah” menjadi dua golongan; PBNU dan PWNU Jatim, seandainya hilal dapat mengungkapkan kesedihannya tentu dia sangat murka melihat dirinya sebagai tanda-tanda kebesaran Allah menjadi penyebab umat Islam Indonesia berselisih dan berpecah belah. Di samping itu pihak-pihak yang menentukan ‘Idul Fitri bersikukuh bahwa pendapatnya adalah benar dan harus dipertahankan, kalau perlu sampai nafas terakhir; sebab ini masalah tanggung jawab sebagai pemimpin di hadapan “umatnya” dan di hadapan Allah kelak, ini adalah urusan surga dan neraka!
Ini semua mengindikasikan bahwa apapun metodologinya, dan sekuat apapun dalil syar’i yang dijadikan hujjah, metodologi apapun yang disepakati baik ru’yat saja maupun hisab, di negeri yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia ini perbedaan dalam menentukan ‘Idul Fitri peluang berbeda masih sangat terbuka lebar dan menganga.
Apa tujuan ‘Idul Fitri
Tujuan ‘Idul Fitri adalah untuk merayakan kebahagiaan, kebersamaan, dan saling menyatakan kebesaran rahmat dan nikmat Allah kepada antar sesama umat Islam khususnya dan juga menunjukkan kepada alam semesta bahwa umat Islam itu meskipun sekarang ini tercabik-cabik, tapi masih ada harapan dan motivasi untuk meraih kegemilangan di masa mendatang.
‘Idul Fitri adalah kembali kepada fitrah; di antara fitrah umat Islam, meskipun dibungkus dengan berbagai macam ormas, sebenarnya fitrahnya masih tetap ingin bersatu padu dalam ‘Idul Fitri; melupakan semua bungkusnya, bahkan fitrah ingin saling memaafkan dan saling melupakan kesalahan masa lalu dengan saling bermaaf-maafan; inilah fitrah masyarakat Indonesia. Fitrah yang harus dicarikan wadah untuyk mempersatukannya; dan seharusnya peluang itu ada di depan mata; bersama-sama berhari raya ‘Idul Fitri.
Syahdan di negeri ini; satu rumah, bahkan penulis mengatahui ada sepasang suami istri yang sama-sama taat beragama; ternyata pilihan ‘Idul Fitrinya berbeda, dan menjadi gunjingan banyak orang di hari yang seharusnya tidak perlu ada desas-desus tidak sehat tersebut, adakah ini yang diharapkan Islam?, ketika di malam hari juga mungkin ada yang mendengar satu mesjid menyerukan dengan suara lantang agar masyarakat bangun bersahur, tapi di masjid yang “berseberangan jalan” ada sahutan dengan mengumandangkan laungan menggema takbir ‘Idul Fitri; yang membawa pesan sangat jelas, jangan kalian bersahur, kalian tidak benar, yang benar adalah kami yang sedang bertakbir, dan begitulah sebaliknya. Andaikata baginda Rasulullah SAW masih ada; mungkinkah beliau berbahagia dengan kondisi umatnya seperti saat ini. Namun begitu semua yang saling berselisih tersebut beranggapan bahwa dialah yang paling sesuai dengan sunnah Nabi SAW.
Dalam ‘Idul Fitri disunnahkah untuk mengucapkan salam dan do’a “Taqqbbalallahu minna wa minkum”, sebagai ungkapan kemenangan, kemenagan umat Islam, kemenangan apakah yang akan diraih dari perpecahan umat, ‘Idul Fitri yang seharusnya menjadi momen persatuan untuk menuju kemengan, namun di Indonesia menjadi peletakan batu pertama untuk saling terus berpecah belah. Bila ‘Idul Fitri berbeda dan dalam satu lingkungan sosial; dapat dipastikan bahwa ketidaknyamanan pasti akan terjadi; meskipun ada senyum, senyuman itu hanya sampai di tenggorokan, belum sampai masuk ke hati. Toleransi yang dipaksakan oleh pengambil kebijakan dengan alasan “masyarakat kita sudah dewasa dalam menyikapi perbedaan”, “ini masalah khilafiyah, perbedaan dalam agama itu rahmat”. Benarkah, perbedaan ‘Idul Fitri dalam satu rumah, kantor dan RT rahmat?. Mungkin bibir dapat mengatakan rahmat; namun hati nurani yang masih dalam fitrah akan menolaknya, meskipun sudah berulang kali untuk dihibur dengan berbagai macam alasan dan dalil.
Mengapa hanya dalil hisab dan ru’yah yang selalu ditonjolkan; dan masyarakat juga sudah yakin. Bahwa tokoh-tokoh ormas pemegang kebijakan sudah “final dan puas” dengan dalil masing-masing, bukankah Islam itu luas; masih ada dalil-dalil lain, seperti maqashid as-syari’ah, yang jelas berpihak kepada maslahat (kebaikan) dan maslahat dalam ‘Idul Fitri hanya dapat ditemui jika dilakukan secara bersama-sama. Kebersamaan ‘Idul Fitri. Itulah yang jelas kita dapatkan dari wejangan tuntunan umat Islam, kanjeng Nabi SAW, “Hari berpuasa adalah hari kamu semua berpuasa hari raya adalah di mana kamu semua berhari raya“. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi, ad-Daruquthni, dan al-Bayhaqi.
Ternyata pemegang kebijakan terjebak dengan teknis observasi dan sama sekali kurang memperhatikan dan menitik beratkan tujuan utama disyari’atkannya ‘Idul Fitri.
Diperlukan kedewasaan dan hati yang lapang
Bagi warga Indonesia yang merasakan hidup di luar negeri pada saat ‘idul Fitri mungkin merasa sedih karena jauh dari keluarga, famili dan tentu ini adalah momen yang sangat bersejarah dan penuh arti dalam hidup seseorang; bahkan juga di Indonesia sendiri; fenomena mudik menunjukkan antusias masyarakat untuk “bersama” berbahagia bersama keluarga; namun kasihan umat Islam Indonesia, kebersamaan itu akhirnya kandas di tangan qarar, fatwa, tarjih dan istilah-istilah lain yang dipakai oleh tokoh-tokoh ormas Islam; Namun jika melihat kenyataan bahwa di kampung halaman hari raya berbeda-beda sampai selama 3 hari, rasanya rasa kangen dan kerinduan jadi sirna, atau bahkan menjadi phobi dengan realita umat Islam Indonesia, dan bagi yang berada di luar negeri menjadi iri dengan negara Islam lain dan putus asa melihat problematika bangsa Indonesia dengan muslim mayoritasnya.
Di semua negara Islam, perbedaan ‘Idul Fitri itu hampir tidak terjadi atau sangat jarang terjadi; di semua negara Teluk, di semua Negara Timur Tengah, di Afrika Utara, di Asia Tengah, dan di negara-negara ASEAN (tentu saja kecuali Republik Indonesia) semua rakyatnya dapat merasakan kebersamaan dan kebahagiaan ‘Idul Fitri, sebab pemimpin-pemimpin dan ilmuwan-ilmuwan/ulama’ di negeri-negeri tersebut jauh lebih melihat bahwa ‘Idul Fitri milik umat Islam seluruhnya, bukan milik kelompok dan golongan. Indonesia dengan berjuta-juta penduduk memang dapat dibanggakan dengan banyaknya ulama’ dan ilmuwan-ilmuwannya; baik yang ahli dalam bidang ru’yah maupun hisab/astronomi tidak terhitung banyaknya. Tapi hal serupa juga kita dapatkan dengan melimpah ruah di Mesir, di Timur Tengah, di Afrika Utara, di Asia Tengah dan juga di semua Negara ASEAN; negara-negara tersebut juga punya ulama-ulama besarnya yang bahkan mendunia yang negara kita saat ini belum mampu melahirkannya, dan tentu negara-negara tersebut juga punya pakar-pakar falak dan ahli ru’yah yang mungkin lebih senior dari Indonesia, tapi di manakah suara dan pendapat ulama’-ulama’ negeri-negeri tersebut ketika menentukan ‘Idul Fitri? Nyaris tak terdengar, dan bahkan tidak muncul. Dikarenakan mereka menyadari sepenuhnya bahwa urusan “mengumumkan” jatuhnya hari raya ‘Idul Fitri bukan ditangan individu atau kelompok; tapi di tangan ulil amri, para ulama’ dan ilmuan tugasnya adalah memberikan masukan yang akurat dan data valid kepada ulil amri tentang observasi hilal; itulah tanggung jawab mereka; dan bila terjadi kesimpangsiuran atau bila adu dalil tidak terelakkan di antara kubu-kubu yang ada, maka surat An-Nisa’: 59 difungsikan dan ditaati: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasulullah dan kepada ulil amri dari kalian“. Kubu-kubu yang berselisih tentunya sudah “puas” dan nyaman dengan dalil-dalil yang dipegang; kalau sudah begitu maka ulil amri harus dimainkan perannya atau memainkan perannya untuk menghindarkan perselisihan; itu semua harus dilakukan sebab ritual ‘Idul Fitri bukan ritual individu dan kelompok, tapi ritual yang melibatkan umat Islam. Dan dalam kaidah fatwa diterangkan bahwa fatwa harus meilhat i’tibar al-maalaat (melihat efek dan akibat yang akan ditimbulkan), dan perbedaan ‘Idul Fitri jelas berakibat tidak sehat di masyarakat. Kemudian para ulama juga sudah sepakat bahwa agama ini datang untuk mendatangkan maslahat (kebaikan) bagi semua elemen masyarakat; dan semua hukum Islam berpihak kepada maslahat dan menghindari madharat (kerusakan), dan jelas bahwa beda ‘Idul Fitri akan mencetuskan banyak problem (mafsadah/madharrat); baik ritual maupun sosial. Maka semua keputusan dari pemegang kebijakan dalam masalah ‘Idul Fitri seyogyanya melihat realita di masyarakat sebagai petimbangan besar sebelum mencetuskan keputusan untuk menentukan jatuhnya ‘Idul Fitri.
Langkah strategis yang harus ditempuh
Untuk keluar dari khilaf dan polemik tahunan ini kiranya harus ada langkah untuk menyelesaikannya; ormas-ormas harus dengan “legowo” menyerahkan kebijakan mengumumkan ‘Idul Fitri kepada ulil amri; mengingat ‘Idul Fitri milik bersama. Tentu ulil amri tersebut harus bersikap netral, fair dan mengakomodasi semua tokoh, ulama, dan ilmuan dari semua kubu; kemudian hasil dari ijtihad jama’i (kolektif) tersebut harus disepakati dan hanya boleh diumumkan oleh ulil amri. Yang menjadi usulan penting dalam forum pertemuan antar ormas dan jama’ah-jama’ah tersebut adalah jangan sampai semua yang terlibat tersebut terjebak dalam adu dalil; siapa sebenarnya ulil amri di Indonesia?
Kalau polemik dalam masalah ini terjadi, tidak ada gunanya masyarakat merayakan kemerdekaan RI yang ke 62 bulan Agustus lalu. Menurut penulis, yang layak menjadi ulil amri di sini adalah Departemen Agama, atau barangkali ada kelompok-kelompok yang merasa perlu menjadi ulil amri di negeri ini?. Bisa saja terjadi.
Sebenarnya mencari titik temu persamaan itu bisa terjadi, dengan syarat seperti yang dikatakan Menteri Agama, “kalau mau”. Benar, kalau mau, Allah SWT memberikan tip bagi pasangan suami istri yang sedang berselisih untuk bersatu kembali dengan berita: “Dan jika kalian khawatir terjadi peceraian di antara mereka (suami istri) maka utuslah hakam (hakim penengah) dari keluarga suami, dan juga dari keluarga istri. Kalau mereka berdua menginginkan islah (berbaik-baikan) kembali, maka Allah akan memberikan taufiq di antara mereka“. (An-Nisa’: 35), tapi kalau memang kubu-kubu yang berselisih sudah enggan untuk bersatu-padu dari manakah ada jalan pertemuan meskipun sudah ada penengah?.
Mudah-mudahan, ‘Idul Frtri bersama akan dapat kita rasakan nantinya di alam nyata Republik Indonesia, meskipun umat Islam Indonesia dari semenjak tahun 1990-an terpaksa harus berlebaran bersama di Republik Mimpi.
Taqabbalallhu minna wa minkum, mohon maaf lahir batin.
Walahu a’lam.
Muntaha Artalim Zaim
International Islamic University Malaysia
1 Oktober 2007, 19 Ramadhan 1428.
Di hampir semua negara-negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam masyarakatnya dapat menikmati kebahagiaan berhari raya bersama, bersatu padu dalam kebahagiaan; namun di Indonesia masyarakat untuk saat ini hanya dapat bermimpi untuk dapat merasakan indahnya kebersamaan dalam kebahagiaan.
Apa akar permasalahannya
Hari raya ‘Idul Fitri bukan seperti shalat, wudhu dan ibadah sejenisnya yang dapat dilakukan dengan leluasa oleh individu, ‘Idul Fitri adalah ibadah sosial, ibadah yang melibatkan semua elemen umat Islam, tak pandang bulu dari ormas dan jama’ah manapun mereka; Muhammadiyah, NU, Perti, Persis, Masyumi, al-Irsyad, Syi’ah, Salafi, Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh; bahkan dari, Islam Jama’ah, Islam Liberal hingga Islam abangan; semuanya ada di Indonesia dan semuanya merasa perlu dan merasa memiliki ‘Idul Fitri; yang mana berjuta-juta umat Islam Indonesia banyak yang berafiliasi di dalam ormas-ormas tersebut, atau “dipaksa” oleh opini masyarakat untuk dimasukkan dalam organisasi dan jama’ah-jama’ah tersebut; dan perlu dicatat bahwa semua berdiri di atas nama Islam dan tentu semua menginginkan untuk menuju surga.
Nah, pada saat umat Islam Indonesia ingin mengadakan “hajatan akbar” berupa perayaan ‘Idul Fitri; ternyata ada di antara pemimpin-pemimpin dan ilmuwan-ilmuwan/ulama’ dari kelompok-kelompok itu yang merasa paling punya wewenang dan ingin didengar suaranya untuk menentukan hari “H”nya ‘Idul Fitri; tentu dengan metode masing-masing, ada yang memakai hisab, ada pula yang menggunakan metode ru’yat, baik ru’yat lokal maupun yang lebih maju lagi ru’yat global. Yang pasti hilal (bulan sabit) tidak akan terpengaruh sedikitpun dengan segala macam observasi tersebut, sebab bulan sabit itu satu dan dia mempersilahkan kepada umat Islam untuk meneliti dan mengobservasi dirinya, itu tidak penting bagi sang hilal. Toh meskipun pada tahun 2001 Muhammadiyah dan Persis yang menggunakan hisab hasilnya berbeda dalam menentukan ‘idul Fitri, dan juga tahun 2006 warga NU yang menggunakan ru’yat ternyata saling menyalahkan dan akhirnya “pecah” menjadi dua golongan; PBNU dan PWNU Jatim, seandainya hilal dapat mengungkapkan kesedihannya tentu dia sangat murka melihat dirinya sebagai tanda-tanda kebesaran Allah menjadi penyebab umat Islam Indonesia berselisih dan berpecah belah. Di samping itu pihak-pihak yang menentukan ‘Idul Fitri bersikukuh bahwa pendapatnya adalah benar dan harus dipertahankan, kalau perlu sampai nafas terakhir; sebab ini masalah tanggung jawab sebagai pemimpin di hadapan “umatnya” dan di hadapan Allah kelak, ini adalah urusan surga dan neraka!
Ini semua mengindikasikan bahwa apapun metodologinya, dan sekuat apapun dalil syar’i yang dijadikan hujjah, metodologi apapun yang disepakati baik ru’yat saja maupun hisab, di negeri yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia ini perbedaan dalam menentukan ‘Idul Fitri peluang berbeda masih sangat terbuka lebar dan menganga.
Apa tujuan ‘Idul Fitri
Tujuan ‘Idul Fitri adalah untuk merayakan kebahagiaan, kebersamaan, dan saling menyatakan kebesaran rahmat dan nikmat Allah kepada antar sesama umat Islam khususnya dan juga menunjukkan kepada alam semesta bahwa umat Islam itu meskipun sekarang ini tercabik-cabik, tapi masih ada harapan dan motivasi untuk meraih kegemilangan di masa mendatang.
‘Idul Fitri adalah kembali kepada fitrah; di antara fitrah umat Islam, meskipun dibungkus dengan berbagai macam ormas, sebenarnya fitrahnya masih tetap ingin bersatu padu dalam ‘Idul Fitri; melupakan semua bungkusnya, bahkan fitrah ingin saling memaafkan dan saling melupakan kesalahan masa lalu dengan saling bermaaf-maafan; inilah fitrah masyarakat Indonesia. Fitrah yang harus dicarikan wadah untuyk mempersatukannya; dan seharusnya peluang itu ada di depan mata; bersama-sama berhari raya ‘Idul Fitri.
Syahdan di negeri ini; satu rumah, bahkan penulis mengatahui ada sepasang suami istri yang sama-sama taat beragama; ternyata pilihan ‘Idul Fitrinya berbeda, dan menjadi gunjingan banyak orang di hari yang seharusnya tidak perlu ada desas-desus tidak sehat tersebut, adakah ini yang diharapkan Islam?, ketika di malam hari juga mungkin ada yang mendengar satu mesjid menyerukan dengan suara lantang agar masyarakat bangun bersahur, tapi di masjid yang “berseberangan jalan” ada sahutan dengan mengumandangkan laungan menggema takbir ‘Idul Fitri; yang membawa pesan sangat jelas, jangan kalian bersahur, kalian tidak benar, yang benar adalah kami yang sedang bertakbir, dan begitulah sebaliknya. Andaikata baginda Rasulullah SAW masih ada; mungkinkah beliau berbahagia dengan kondisi umatnya seperti saat ini. Namun begitu semua yang saling berselisih tersebut beranggapan bahwa dialah yang paling sesuai dengan sunnah Nabi SAW.
Dalam ‘Idul Fitri disunnahkah untuk mengucapkan salam dan do’a “Taqqbbalallahu minna wa minkum”, sebagai ungkapan kemenangan, kemenagan umat Islam, kemenangan apakah yang akan diraih dari perpecahan umat, ‘Idul Fitri yang seharusnya menjadi momen persatuan untuk menuju kemengan, namun di Indonesia menjadi peletakan batu pertama untuk saling terus berpecah belah. Bila ‘Idul Fitri berbeda dan dalam satu lingkungan sosial; dapat dipastikan bahwa ketidaknyamanan pasti akan terjadi; meskipun ada senyum, senyuman itu hanya sampai di tenggorokan, belum sampai masuk ke hati. Toleransi yang dipaksakan oleh pengambil kebijakan dengan alasan “masyarakat kita sudah dewasa dalam menyikapi perbedaan”, “ini masalah khilafiyah, perbedaan dalam agama itu rahmat”. Benarkah, perbedaan ‘Idul Fitri dalam satu rumah, kantor dan RT rahmat?. Mungkin bibir dapat mengatakan rahmat; namun hati nurani yang masih dalam fitrah akan menolaknya, meskipun sudah berulang kali untuk dihibur dengan berbagai macam alasan dan dalil.
Mengapa hanya dalil hisab dan ru’yah yang selalu ditonjolkan; dan masyarakat juga sudah yakin. Bahwa tokoh-tokoh ormas pemegang kebijakan sudah “final dan puas” dengan dalil masing-masing, bukankah Islam itu luas; masih ada dalil-dalil lain, seperti maqashid as-syari’ah, yang jelas berpihak kepada maslahat (kebaikan) dan maslahat dalam ‘Idul Fitri hanya dapat ditemui jika dilakukan secara bersama-sama. Kebersamaan ‘Idul Fitri. Itulah yang jelas kita dapatkan dari wejangan tuntunan umat Islam, kanjeng Nabi SAW, “Hari berpuasa adalah hari kamu semua berpuasa hari raya adalah di mana kamu semua berhari raya“. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi, ad-Daruquthni, dan al-Bayhaqi.
Ternyata pemegang kebijakan terjebak dengan teknis observasi dan sama sekali kurang memperhatikan dan menitik beratkan tujuan utama disyari’atkannya ‘Idul Fitri.
Diperlukan kedewasaan dan hati yang lapang
Bagi warga Indonesia yang merasakan hidup di luar negeri pada saat ‘idul Fitri mungkin merasa sedih karena jauh dari keluarga, famili dan tentu ini adalah momen yang sangat bersejarah dan penuh arti dalam hidup seseorang; bahkan juga di Indonesia sendiri; fenomena mudik menunjukkan antusias masyarakat untuk “bersama” berbahagia bersama keluarga; namun kasihan umat Islam Indonesia, kebersamaan itu akhirnya kandas di tangan qarar, fatwa, tarjih dan istilah-istilah lain yang dipakai oleh tokoh-tokoh ormas Islam; Namun jika melihat kenyataan bahwa di kampung halaman hari raya berbeda-beda sampai selama 3 hari, rasanya rasa kangen dan kerinduan jadi sirna, atau bahkan menjadi phobi dengan realita umat Islam Indonesia, dan bagi yang berada di luar negeri menjadi iri dengan negara Islam lain dan putus asa melihat problematika bangsa Indonesia dengan muslim mayoritasnya.
Di semua negara Islam, perbedaan ‘Idul Fitri itu hampir tidak terjadi atau sangat jarang terjadi; di semua negara Teluk, di semua Negara Timur Tengah, di Afrika Utara, di Asia Tengah, dan di negara-negara ASEAN (tentu saja kecuali Republik Indonesia) semua rakyatnya dapat merasakan kebersamaan dan kebahagiaan ‘Idul Fitri, sebab pemimpin-pemimpin dan ilmuwan-ilmuwan/ulama’ di negeri-negeri tersebut jauh lebih melihat bahwa ‘Idul Fitri milik umat Islam seluruhnya, bukan milik kelompok dan golongan. Indonesia dengan berjuta-juta penduduk memang dapat dibanggakan dengan banyaknya ulama’ dan ilmuwan-ilmuwannya; baik yang ahli dalam bidang ru’yah maupun hisab/astronomi tidak terhitung banyaknya. Tapi hal serupa juga kita dapatkan dengan melimpah ruah di Mesir, di Timur Tengah, di Afrika Utara, di Asia Tengah dan juga di semua Negara ASEAN; negara-negara tersebut juga punya ulama-ulama besarnya yang bahkan mendunia yang negara kita saat ini belum mampu melahirkannya, dan tentu negara-negara tersebut juga punya pakar-pakar falak dan ahli ru’yah yang mungkin lebih senior dari Indonesia, tapi di manakah suara dan pendapat ulama’-ulama’ negeri-negeri tersebut ketika menentukan ‘Idul Fitri? Nyaris tak terdengar, dan bahkan tidak muncul. Dikarenakan mereka menyadari sepenuhnya bahwa urusan “mengumumkan” jatuhnya hari raya ‘Idul Fitri bukan ditangan individu atau kelompok; tapi di tangan ulil amri, para ulama’ dan ilmuan tugasnya adalah memberikan masukan yang akurat dan data valid kepada ulil amri tentang observasi hilal; itulah tanggung jawab mereka; dan bila terjadi kesimpangsiuran atau bila adu dalil tidak terelakkan di antara kubu-kubu yang ada, maka surat An-Nisa’: 59 difungsikan dan ditaati: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasulullah dan kepada ulil amri dari kalian“. Kubu-kubu yang berselisih tentunya sudah “puas” dan nyaman dengan dalil-dalil yang dipegang; kalau sudah begitu maka ulil amri harus dimainkan perannya atau memainkan perannya untuk menghindarkan perselisihan; itu semua harus dilakukan sebab ritual ‘Idul Fitri bukan ritual individu dan kelompok, tapi ritual yang melibatkan umat Islam. Dan dalam kaidah fatwa diterangkan bahwa fatwa harus meilhat i’tibar al-maalaat (melihat efek dan akibat yang akan ditimbulkan), dan perbedaan ‘Idul Fitri jelas berakibat tidak sehat di masyarakat. Kemudian para ulama juga sudah sepakat bahwa agama ini datang untuk mendatangkan maslahat (kebaikan) bagi semua elemen masyarakat; dan semua hukum Islam berpihak kepada maslahat dan menghindari madharat (kerusakan), dan jelas bahwa beda ‘Idul Fitri akan mencetuskan banyak problem (mafsadah/madharrat); baik ritual maupun sosial. Maka semua keputusan dari pemegang kebijakan dalam masalah ‘Idul Fitri seyogyanya melihat realita di masyarakat sebagai petimbangan besar sebelum mencetuskan keputusan untuk menentukan jatuhnya ‘Idul Fitri.
Langkah strategis yang harus ditempuh
Untuk keluar dari khilaf dan polemik tahunan ini kiranya harus ada langkah untuk menyelesaikannya; ormas-ormas harus dengan “legowo” menyerahkan kebijakan mengumumkan ‘Idul Fitri kepada ulil amri; mengingat ‘Idul Fitri milik bersama. Tentu ulil amri tersebut harus bersikap netral, fair dan mengakomodasi semua tokoh, ulama, dan ilmuan dari semua kubu; kemudian hasil dari ijtihad jama’i (kolektif) tersebut harus disepakati dan hanya boleh diumumkan oleh ulil amri. Yang menjadi usulan penting dalam forum pertemuan antar ormas dan jama’ah-jama’ah tersebut adalah jangan sampai semua yang terlibat tersebut terjebak dalam adu dalil; siapa sebenarnya ulil amri di Indonesia?
Kalau polemik dalam masalah ini terjadi, tidak ada gunanya masyarakat merayakan kemerdekaan RI yang ke 62 bulan Agustus lalu. Menurut penulis, yang layak menjadi ulil amri di sini adalah Departemen Agama, atau barangkali ada kelompok-kelompok yang merasa perlu menjadi ulil amri di negeri ini?. Bisa saja terjadi.
Sebenarnya mencari titik temu persamaan itu bisa terjadi, dengan syarat seperti yang dikatakan Menteri Agama, “kalau mau”. Benar, kalau mau, Allah SWT memberikan tip bagi pasangan suami istri yang sedang berselisih untuk bersatu kembali dengan berita: “Dan jika kalian khawatir terjadi peceraian di antara mereka (suami istri) maka utuslah hakam (hakim penengah) dari keluarga suami, dan juga dari keluarga istri. Kalau mereka berdua menginginkan islah (berbaik-baikan) kembali, maka Allah akan memberikan taufiq di antara mereka“. (An-Nisa’: 35), tapi kalau memang kubu-kubu yang berselisih sudah enggan untuk bersatu-padu dari manakah ada jalan pertemuan meskipun sudah ada penengah?.
Mudah-mudahan, ‘Idul Frtri bersama akan dapat kita rasakan nantinya di alam nyata Republik Indonesia, meskipun umat Islam Indonesia dari semenjak tahun 1990-an terpaksa harus berlebaran bersama di Republik Mimpi.
Taqabbalallhu minna wa minkum, mohon maaf lahir batin.
Walahu a’lam.
Muntaha Artalim Zaim
International Islamic University Malaysia
1 Oktober 2007, 19 Ramadhan 1428.
Jumat, 10 Agustus 2007
"Raia" is ma petite bebe girl
Visitor Number |
Age : 18 months (cute!)
Age : 24 months ("gambar apa itu Raia", "gambar hantu, ibu" hmmmm "Genius" answer
Rabu, 08 Agustus 2007
Minggu, 05 Agustus 2007
“I want to be in business for myself. I have lots of good ideas. How do I know which idea fit turn into a business?"
1. Choose something that you love to do.
Find something that you love to do, and you will doing it without regard for money. Trust me, if you dig in and do well, the money will come. However, if money is your primary motivation you have two strikes against you before you start. If money is the driver you will tend to make short-sighted decisions. People who work just for the money tend not to work as hard as those who love what they do.
2. Don’t let crowded markets frighten you.
I’ve heard people say that “I love this idea, but this particular business is already crowded.” In response to that I say “there is always room in any industry or business for someone who truly makes a difference.” And I can tell you that someone who loves what they are doing often makes a wonderful difference. People who make a difference tend to stand out from the crowd – and they are the ones who survive shakeouts.
3. When you love something…
“When you love something, it tells you all its secrets.” There is so much truth to this statement. It’s the accumulation and use of all those big and little secrets that separate the great companies from all the also-rans. People who are in it just for the money never learn any of the secrets.
4. The love needs to be there.
If you decide on a business and you literally love the idea of being in it, there is an excellent chance that you WILL find a way to be different. You will tend to work hard enough so one day, your business will tell you the secrets you need to know that will set you apart from the crowd.
5. So there you have it. Do what you love doing. It’s that simple. There’s also one more reason why you should do what you love. Life’s short. Why spend your time at something that isn’t fun?
6. It’s all about enjoying what you do.
Remember wisemen's saying: “We’re not here for a long time. We’re here for a good time.”
Find something that you love to do, and you will doing it without regard for money. Trust me, if you dig in and do well, the money will come. However, if money is your primary motivation you have two strikes against you before you start. If money is the driver you will tend to make short-sighted decisions. People who work just for the money tend not to work as hard as those who love what they do.
2. Don’t let crowded markets frighten you.
I’ve heard people say that “I love this idea, but this particular business is already crowded.” In response to that I say “there is always room in any industry or business for someone who truly makes a difference.” And I can tell you that someone who loves what they are doing often makes a wonderful difference. People who make a difference tend to stand out from the crowd – and they are the ones who survive shakeouts.
3. When you love something…
“When you love something, it tells you all its secrets.” There is so much truth to this statement. It’s the accumulation and use of all those big and little secrets that separate the great companies from all the also-rans. People who are in it just for the money never learn any of the secrets.
4. The love needs to be there.
If you decide on a business and you literally love the idea of being in it, there is an excellent chance that you WILL find a way to be different. You will tend to work hard enough so one day, your business will tell you the secrets you need to know that will set you apart from the crowd.
5. So there you have it. Do what you love doing. It’s that simple. There’s also one more reason why you should do what you love. Life’s short. Why spend your time at something that isn’t fun?
6. It’s all about enjoying what you do.
Remember wisemen's saying: “We’re not here for a long time. We’re here for a good time.”
Label: Doing Business
Brief history of flat shoes
The flat pump or ballet flat is now a must-have item in every woman’s wardrobe. But back in the 1500s it was the men that were cavorting round in these ultra-comfy ‘pompes’.
In fact, until the 16th century, flat shoes had been the choice for both men and women through the ages. The wealthy women of ancient Egypt wore flat sandals made from braided papyrus leaves, and decorated with jewels for a bit of sparkle. And the flat Roman sandal, with its sturdy leather sole, was ideal for all those excursions across Europe.
By medieval times the flat shoe was still in vogue but had now morphed into the long and pointy, and rather impractical, ‘poulaines’. The length of the shoe reflected someone’s social standing: commoners were ordered to wear shoes no longer than 6 inches; a Knight was allowed up to 18 inches; and a Baron could sport a pair of shoes up to 24 inches in length. Imagine running for the bus in those?
It was the pint-sized Catherine de Medici who, in 1533, first kicked up her heels. On the occasion of her wedding to Henri Duke of Orleans, she asked her cobbler to add an extra two inches to her wedding shoes.
And throughout the 17th and 18th centuries, high-heels became the norm for the ladies and gentleman of the royal courts (giving us the term well-heeled). Ladies’ shoes would often be decorated with pearls, fur and jewels. And the actual heels of Kings Louis XIV and XV depicted miniature battle scenes.
The return of the flat shoe
At the beginning of the French revolution in 1789, the high-heel became synonymous with aristocracy and was thought to be vulgar and ostentatious. And when it-girl Marie-Antoinette stepped up to the gallows in her heels in 1793, the fashion moment had passed and heels soon fell out of favour. For most of the 1800s, and during the industrial revolution, flat shoes, sandals and boots were a practical choice for both sexes. The heel didn’t appear again until the late 1800s but, this time round, exclusively for women.
Flat shoes in the 20th Century
In 1957 when Audrey Hepburn slipped on her ballet flats, Capri pants and oversized sunglasses in Funny Face: an icon was born. And we fell in love with flat shoes all over again. Jackie Kennedy reportedly loved the chic ballet flat so much – she ordered new pairs every month from her favourite designers.
Flat pumps today
The flat pump or ballet flat has now been a firm favourite for women of all ages for the last fifty years. But what makes them so loved in the 21st century? The ballet flat is smart enough for the board room, practical enough for the school run, and sassy enough to wear out on the town. They’re comfortable in the country (think long skirts and wrap tops). And cool enough for the city (think skinny jeans, minis and opaques). Ballet flats are comfy but never boring. They’re sensible and still sexy. And they come in heaps of colours. What’s not to love?
In fact, until the 16th century, flat shoes had been the choice for both men and women through the ages. The wealthy women of ancient Egypt wore flat sandals made from braided papyrus leaves, and decorated with jewels for a bit of sparkle. And the flat Roman sandal, with its sturdy leather sole, was ideal for all those excursions across Europe.
By medieval times the flat shoe was still in vogue but had now morphed into the long and pointy, and rather impractical, ‘poulaines’. The length of the shoe reflected someone’s social standing: commoners were ordered to wear shoes no longer than 6 inches; a Knight was allowed up to 18 inches; and a Baron could sport a pair of shoes up to 24 inches in length. Imagine running for the bus in those?
It was the pint-sized Catherine de Medici who, in 1533, first kicked up her heels. On the occasion of her wedding to Henri Duke of Orleans, she asked her cobbler to add an extra two inches to her wedding shoes.
And throughout the 17th and 18th centuries, high-heels became the norm for the ladies and gentleman of the royal courts (giving us the term well-heeled). Ladies’ shoes would often be decorated with pearls, fur and jewels. And the actual heels of Kings Louis XIV and XV depicted miniature battle scenes.
The return of the flat shoe
At the beginning of the French revolution in 1789, the high-heel became synonymous with aristocracy and was thought to be vulgar and ostentatious. And when it-girl Marie-Antoinette stepped up to the gallows in her heels in 1793, the fashion moment had passed and heels soon fell out of favour. For most of the 1800s, and during the industrial revolution, flat shoes, sandals and boots were a practical choice for both sexes. The heel didn’t appear again until the late 1800s but, this time round, exclusively for women.
Flat shoes in the 20th Century
In 1957 when Audrey Hepburn slipped on her ballet flats, Capri pants and oversized sunglasses in Funny Face: an icon was born. And we fell in love with flat shoes all over again. Jackie Kennedy reportedly loved the chic ballet flat so much – she ordered new pairs every month from her favourite designers.
Flat pumps today
The flat pump or ballet flat has now been a firm favourite for women of all ages for the last fifty years. But what makes them so loved in the 21st century? The ballet flat is smart enough for the board room, practical enough for the school run, and sassy enough to wear out on the town. They’re comfortable in the country (think long skirts and wrap tops). And cool enough for the city (think skinny jeans, minis and opaques). Ballet flats are comfy but never boring. They’re sensible and still sexy. And they come in heaps of colours. What’s not to love?
Label: Sejarah Sepatu